Potret 2012 Bersama Balkoters, Menuju Isboners di 2013


Penghujung tahun 2012 segera tiba. Kita semua segera menyambut tahun 2013, yang menurut kepercayaan tionghoa bersimbol ular air. Banyak yang meramalkan tahun 2013 akan lebih sulit, buruk dan banyak kekacauan, karena ular dianggap sebagai simbol dari kelicikan dan kejahatan. Well, tapi saya bukan Suhu Yo, yang suka tampil di televisi meramalkan kejadian-kejadian sebelum waktunya. Saya cuma ingin sedikit melihat ke belakang, selama 2012, belajar dari apa yang sudah saya lakukan dan belum dilakukan, sebagai intropeksi diri agar 2013 mendatang meraih kehidupan yang lebih baik.

Tapi sebelumnya, saya sedikit tertarik mengintip ramalan Suhu Yo yang dikutip salah satu media online mengenai peruntungan shio saya, shio kelinci. Hahaha..

Menurut Suhu Yo, “Kelinci yang tegar pada tahun ular ini mendapatkan rezeki. Banyak tawaran kerja sama. Pekerjaan yang ditawarkan pun membawa penghasilan yang besar. Kelinci tidak boleh sombong jika tidak mau dijauhi temannya. Kelinci tidak boleh mengonsumsi minuman bersoda ataupun terlalu manis yang mudah menaikkan berat badan Anda. Kelinci di tahun 2013 sangat memesona sehingga banyak yang mengagumi. Kalau ada kesempatan untuk berpergian jauh lakukan saja. Kesehatan kelinci yang kurang baik ialah bagian lambung dan tekanan darah rendah. Murah senyum agar rezeki berlimpah serta disarankan memakai banyak warna putih, kuning, merah, dan orange.”

Ya, lumayan lah, Alhamdulillah kalau memang tahun depan saya dilimpahi banyak rezeki. Tapi kan rezeki nggak mungkin datang dari langit, itu arti saya harus kerja lebih serius lagi 😀

Setiap tahun tentu ada suka dan duka. Ada yang datang dan ada yang pergi. Tahun ini, setelah kurang lebih selama 26 bulan saya menjadi bagian dari keluarga besar forum wartawan Balaikota DKI Jakarta, saya pun harus meninggalkan rumah kedua saya itu atas perintah atasan. Entah sudah berapa ribu jam saya habiskan waktu saya menempuh perjalanan mulai dari Depok menuju kawasan Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Setelah 12 bulan sebelumnya saya lebih banyak melintasi kawasan Selatan Jakarta yang lebih ramah dari kemacetan.

Mulai akhir November tahun ini, saya resmi meninggalkan pos Balaikota DKI Jakarta yang sudah saya jajaki sejak akhir September 2010, dan beralih menuju Istana Kepresidenan. Lokasi pos baru saya ini memang tidak terlalu jauh, dan selama satu tahun ini saya pun beberapa sudah pernah meliput di sana. Namun, adaptasi kembali tentu harus saya jalani. Meninggalkan pos Balaikota bagi saya seperti meninggalkan keluarga. Selama dua tahun lebih berjibaku dengan sesama wartawan di pressroom Balaikota, membuat tali persaudaraan saya dengan mereka sangat kuat. Pressroom sudah seperti kamar sendiri, dan kantor gubernur seperti rumah saya. Itu pengandaian saya. Keceriaan di pressroom setiap hari saya rasakan. Tidak bisa dipungkiri hidup saya selama dua tahun ini lebih banyak dihabiskan bersama mereka. Dengan jam kerja tak terbatas ini, bisa dibayangkan, waktu pertemuan saya dengan keluarga bahkan jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan teman-teman wartawan Balaikota. 10-12 jam bersama mereka, dan hanya satu sampai dua jam dengan keluarga dalam sehari. Rumah orang tua nyaris seperti kos-kosan. Cuma untuk menumpang tidur lima sampai enam jam sehari. Sisanya, mengejar masa depan.

7
Balkoters bersatu dan tidak terkalahkan (dok. pribadi)

Saya jadi ingat hari-hari pertama saya di Balaikota dua tahun lalu. Ketika itu saya hanya kenal beberapa diantara mereka, karena selama satu tahun menjadi wartawan saya lebih banyak meliput di pengadilan, kejaksaan, kantor polisi, gedung KPK, sisanya sesekali ke gedung DPR dan berputar dari peristiwa kriminal ke kriminal lainnya. Hari-hari pertama itu saya banyak dibantu oleh Andi Nugroho dari koran Jurnal Nasional, yang dulu pernah menjadi rekan saya meliput sidang mantan Ketua KPK Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Seluk beluk berita perkotaan saya dalami dari hari ke hari. Renny Fitria, yang saat itu masih bekerja sebagai wartawan koran Tempo, juga seringkali menerangkan tentang berbagai hal kepada saya dan mendekatkan saya dengan teman-teman lainnya di ruang wartawan. Begitu pula dengan Andi ‘Ucup’ Nugroho wartawan Jurnal Nasional, yang merupakan kawan karib saya sejak di PN Jakarta Selatan. Dia yang mengarahkan saya pertama kalinya ke ruang wartawan Balaikota pada hari pertama saya. Hari itu, pukul 9 pagi saat saya sampai, ruang wartawan masih gelap dan belum ada orang satu pun. Waktu itu saya bingung, pada kemana wartawan-wartawan Balkot jam segini belum datang. Lama kelamaan saya pun ikutan datang lebih siang. Saya suka geli sendiri kalau ingat kejadian itu. Kalau sekarang sih, sejak dipimpin Jokowi, teman-teman wartawan Balaikota sampai di depan kantor gubernur jam 7 pagi. Hihihi 😀

Oke, lanjut lagi. Lalu dikenalkanlah saya dengan mbak Lenny Tristia Tambun, yang kala itu masih bekerja sebagai wartawan senior di kantor beritajakarta.com (sekarang di beritasatu.com). Mbak Lenny ini dianggap ibunya anak-anak di Balaikota. Awalnya agak ngeri ya sama ibu satu anak ini, hehe. Mbak Lenny orangnya tegas dan kadang galak sama ‘anak-anaknya’ yang nakal. Tapi ya, namanya juga, tak kenal maka tak sayang. Galaknya mbak Lenny itu lama-lama menjadi jinak-jinak merpati. Sungguh menyesal kalau saya tidak kenal mbak Lenny di Balaikota, karena dia bagaikan ‘kamusnya’ masalah pemberitaan ibukota. Bertahun-tahun di Balaikota, tentu mbak Lenny sudah khatam dengan berbagai persoalan Jakarta. Sebagai wartawan situs berita Pemprov DKI, mbak Lenny juga dekat dengan para stakeholder. Ditambah mbak Lenny dikenal sangat rajin menulis berita. Sebagai junior, saya seringkali malu kalau malas-malasan di pressroom, sedangkan dia dari pagi sampai malam terus saja mengetik di belakang notebook hijaunya.

Wartawan Balaikota yang dipimpin Guruh Nara Persada, wartawan Pos Kota, yang juga senior saya di kampus dulu, sangat kompak. Grup BBM Balaikota Ceria tidak pernah sepi. Setiap canda di dalam grup itu mampu menghapus keletihan setelah seharian mengeruk berita Balaikota, yang kadang sepi, kadang banjir berita. Saya pun sekarang mulai merindukan keceriaan dalam grup tersebut. Adalah bang Nauli Silitonga, wartawan senior Batak Pos, yang pertama kali punya ide menggunakan nama singkatan untuk panggilan kepada sesama Balkoters. Untuk yang perempuan, panggilan diawali dengan huruf M yang artinya Mbak, lalu untuk laki-laki diawali dengan huruf B, kependekkan dari Bang. Dari sanalah saya kemudian memiliki panggilan resmi MD atau Mbak Dheweq di Balaikota. “Tok.. tok.. tok.. resmi dipanggil MD,” begitu kata BU atau Bang Uli setiap habis menetapkan satu nama panggilan kepada para Balkoters. Sungguh saya rindu dengan suasana itu.

Bisa dibilang, saya adalah satu diantara wartawan online dan cetak yang lama ‘dikurung’ di Balaikota. Beberapa media bahkan sudah mengganti personilnya tiga sampai empat kali di sana. Namun, saya tetap bersyukur, dengan begitu saya bisa lebih dalam mengenal seluk beluk perkotaan. Bahkan, kalau ada tes background berita Pemprov DKI, mungkin saya bisa merapalnya di luar kepala. Saya kadang dicandai dengan teman-teman lainnya ketika dipindah kembali ke desk nasional, “dheweq mah hapalnya proyek pembangunan MRT Jakarta, rusun, penanggulangan banjir, sama revitalisasi angkutan umum ibukota.” Kadang titik kejenuhan itu muncul, saat pemberitaan Pemprov DKI begitu-begitu saja. Kadang merasa kurang mendapat tantangan dengan kemudahan akses mencari celah informasi. Kadang juga mengeluh saat berita-berita hantaman terhadap program kerja DKI yang mendadak ‘dihaluskan’ oleh redaksi, atau bahkan di drop.

Namun, ada saja cara membunuh kejenuhan itu bersama Balkoters. Bersama BG (Bang Guruh) jika weekend tiba kami merapat ke Beer Garden SCBD. Ada tim paten yang biasa ber-haha-hihi hingga larut malam, ada MRn (Riana Kompascom), BAd (Andre Jakarta Post), MR0 (Ronna Nirmala Jakarta Globe), BJo (Jordan Detikcom), BFr (Frans Koran Jakarta) dan MVr (Kaka Vera Media Indonesia). Kalau sudah ke tempat ini, pasti ada saja kejadian lucu. Pernah malam itu saking terlalu senangnya, kami nggak kuat pulang. Padahal besok harinya harus meliput kampanye Foke-Nara di Kepulauan Seribu. Akhirnya karena sudah kemalaman, dan besoknya harus berangkat pagi-pagi, menginap di pressroom jadi pilihan terbaik.

Balkoters di beer garden SCBD (dok. pribadi)
Balkoters di beer garden SCBD (dok. pribadi)
Dua partner nakal yang akan saya rindukan kegilaannya. Andreas dan Riana. (dok. pribadi)
Dua partner nakal yang akan saya rindukan kegilaannya. Andreas dan Riana. (dok. pribadi)

Berkaraoke ria dengan Balkoters full team juga jadi momen yang seru. Beberapa kali Balkoters juga berlibur bersama, menginap di curug Cilember, Taman Safari, atau ke Dufan lengkap dengan keluarga masing-masing. Saat itu Balkoters berubah menjadi keluarga besar. Selama ini interaksi kami dengan para wartawan senior di Balaikota pun memang tidak berjarak. Kalau sudah bercanda, yang tua pun semakin tidak ingat umur.

Curug Cilember bersama Balkoters (dok. pribadi)
Curug Cilember bersama Balkoters (dok. pribadi)
Dufan bersama Bfr, BSa, BJo dan MRn (dok. pribadi)
Dufan bersama Bfr, BSa, BJo dan MRn (dok. pribadi)

Salah satu potret 2012 yang mengesankan memang berkumpul bersama teman-teman wartawan Balaikota. Meliput Pilkada DKI 2012 merupakan sebuah momen pembelajaran luar biasa. Jika dulu saat KKL di Media Indonesia tahun 2007 saya hanya kebagian secuil meliput Megawati Soekarnoputri dan keluarga memberikan hak pilihnya di TPS Jagakarsa, pada Pilkada 2012 ini saya kebagian porsi cukup besar dengan berkesempatan meliput investigasi penyimpangan DPT Pilkada DKI yang diselenggarakan oleh AJI. Hadiahnya pun cukup lumayan, saya bisa membeli notebook berkat partisipasi saya itu. Rencananya tulisan saya dan 8 media lainnya yang lolos kualifikasi juga akan dibukukan oleh AJI. Mungkin awal tahun depan bukunya selesai dicetak. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa memiliki kesempatan itu.

Tahun 2013, bersiap dengan agenda politik jelang Pileg dan Pilpres 2014. Istana pasti akan lebih sibuk. Mudah-mudahan saya bisa berkontribusi lebih besar dan bekerja lebih baik. Di sisi lain, pencapaian karir saya tahun depan semoga membuahkan kesejahteraan yang lebih baik. Amin. Doa wartawan memang kebanyakan ke arah kesejahteraan, hehee, tapi tentunya harus diimbangi dengan kualifikasi yang baik pula. Apalagi persaingan media saat ini semakin berat. Beberapa waktu lalu, kalau dihitung-hitung, lebih dari lima orang redaktur tempat saya bekerja bedol desa ke media online tetangga. Pasukan semakin sedikit, beban kerja semakin berat. Apalagi tidak bisa dipungkiri pencapresan Ical tentu akan menjadi salah satu bagian fokus kerja media saya. Ya, fokus saja bekerja, yang penting jangan lupa minta doa sama orang tua. Restu orang tua itu adalah restu Allah.

Sampai jumpa di tahun 2013, selamat datang di lingkungan kerja baru, pewarta Istana 🙂

Welcome, Isboners (foto: Widodo ANTARA)
Welcome, Isboners (foto: Widodo ANTARA)

“Cheers to a new year and another chance for us to get it right.” ― Oprah Winfrey

 

 

3 thoughts on “Potret 2012 Bersama Balkoters, Menuju Isboners di 2013

    1. hehehee.. kangen disiram aer sama ucup… makasi ucup sudah membuat hari-hari selama di presrum balkot ceria, makasi udah boleh bully kamu :p Next acara di Sabang, aku pasti hadir, ditraktir kan?! hahaha.. 2013 harus lebih sukses! Amin

Leave a reply to justdheweq Cancel reply